Latest News


Firman Allah:

artinya:
“Orang-orang yang beriman dan tidak menodai keimanan (5) mereka dengan kedzhaliman (kemusyrikan) (6), mereka itulah orang-orang yang mendapat ketentraman dan mereka itulah orang-orang yang mendapat jalan hidayah.” (QS. Al An’am: 82).

Ubadah bin Shamit menuturkan: Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa yang bersyahadat (7) bahwa tidak ada sesembahan yang hak (benar) selain Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, dan bahwa Isa adalah hamba dan Rasul-Nya, dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, serta Ruh dari pada-Nya, dan surga itu benar adanya, neraka juga benar adanya, maka Allah pasti memasukkanya kedalam surga, betapapun amal yang telah diperbuatnya.” (HR. Bukhari & Muslim).

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula hadits dari Itban bahwa Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya Allah  mengharamkan neraka bagi orang orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas dan hanya mengharapkan (pahala melihat) wajah Allah”.

Diriwayatkan dari Abu Said Al Khudri bahwa Rasulullah bersabda:


“Musa berkata: “Ya Rabb, ajarkanlah kepadaku sesuatu untuk mengingat-Mu dan berdoa kepada-Mu”, Allah berfirman:” ucapkan hai Musa la ilaha illallah Musa berkata: “ya Rabb, semua hamba-Mu mengucapkan itu”, Allah menjawab:” Hai Musa, seandainya ketujuh langit
serta seluruh penghuninya –selain Aku- dan ketujuh bumi diletakkan dalam satu sisi timbangan dan kalimat la ilaha illallah diletakkan pada sisi lain timbangan, niscaya kalimat la ilaha llallah lebih berat timbangannya.” (HR. Ibnu Hibban, dan Hakim sekaligus menshahihkannya).

Tirmidzi meriwayatkan hadits (yang menurut penilaiannya hadits itu hasan) dari Anas bin Malik ia
berkata: "aku mendengar Rasulullah  bersabda:

“Allah berfirman: “Hai anak Adam, jika engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sejagat raya, dan engkau ketika mati dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatupun, pasti Aku akan datang kepadamu dengan membawa ampunan sejagat raya pula”.

Kandungan bab ini:

  1. Luasnya karunia Allah.
  2. Besarnya pahala tauhid di sisi Allah.
  3. Dan tauhid juga dapat menghapus dosa.
  4. Penjelasan tentang ayat yang ada dalam surat Al An’am.
  5. Perhatikan kelima masalah yang ada dalam hadits Ubadah. 
  6. Jika anda memadukan antara hadits Ubadah, hadits Itban dan hadits sesudahnya, maka akan jelas bagi anda pengertian kalimat la ilaha illallah juga kesalahan orang-orang yang tersesat karena hawa nafsunya.
  7. Perlu diperhatikan syarat-syarat yang disebutkan dalam hadits Itban, (yaitu ikhlas semata-mata karena Allah, dan tidak menyekutukan-Nya).
  8. Para Nabipun perlu diingatkan akan keistimewaan la ilaha illallah.
  9. Penjelasan bahwa kalimat la ilaha illallah berat timbangannya mengungguli berat timbangan seluruh makhluk, padahal banyak orang yang mengucapkan kalimat tersebut.
  10. Pernyataan bahwa bumi itu tujuh lapis seperti halnya langit. 
  11. Langit dan bumi itu ada penghuninya.
  12. Menetapkan sifat-sifat Allah apa adanya, berbeda dengan pendapat Asy’ariyah (8).
  13. Jika anda memahami hadits Anas, maka anda akan mengetahui bahwa sabda Rasul yang ada dalam hadits Itban: “sesungguhnya Allah mengharamkan masuk neraka bagi orang-orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan penuh ikhlas karena Allah, dan tidak menyekutukan-Nya”, maksudnya adalah tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, bukan hanya mengucapkan kalimat tersebut dengan lisan saja. 
  14. Nabi Muhammad dan Nabi Isa adalah sama-sama hamba Allah dan Rasul-Nya.
  15. Mengetahui keistimewaan Nabi Isa, sebagai Kalimat Allah (9).
  16. Mengetahui bahwa Nabi Isa adalah ruh di antara ruh-ruh yang diciptakan Allah.
  17. Mengetahui keistimewaan iman kepada kebenaran adanya surga dan neraka.
  18. Memahami sabda Rasul: “betapapun amal yang telah dikerjakannya”.
  19. Mengetahui bahwa timbangan (di hari kiamat) itu mempunyai dua daun.
  20. Mengetahui kebenaran adanya Wajah bagi Allah.

footnote
(5 ) Iman ialah: ucapan hati dan lisan yang disertai dengan perbuatan, diiringi dengan ketulusan niat karena Allah, dan dilandasi dengan berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah.
(6 ) Syirik disebut kezhaliman karena syirik adalah menempatkan suatu ibadah tidak pada tempatnya, dan memberikannya kepada yang tidak berhak menerimanya.
(7 ) Syahadat ialah: persaksian dengan hati dan lisan, dengan mengerti maknanya dan mengamalkan apa yang menjadi tuntutannya, baik lahir maupun batin.
(8 ) Asy’ariyah adalah salah satu aliran teologis, pengikut Syekh Abu Hasan Ali bin Ismail Al Asy’ari (260 – 324 H = 874 – 936 M). Dan maksud penulis di sini ialah menetapkan sifat sifat Allah sebagaimana yang disebutkan dalam Al qur’an maupun As sunnah. Termasuk sifat yang ditetapkan adalah kebenaran adanya wajah bagi Allah, mengikuti cara yang diamalkan kaum salaf shaleh dalam
masalah ini, yaitu: mengimani kebesaran sifat sifat Allah yang dituturkan Al qur’an dan As sunnah tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil. Adapun Asy’ariyah, sebagian mereka ada yang menta’wilkannya (menafsirinya dengan makna yang menyimpang dari makna yang sebenarnya)
dengan dalih bahwa hal itu jika tidak dita’wilkan bisa menimbulkan tasybih (penyerupaan) Allah dengan makhluk-Nya, akan tetapi perlu diketahui bahwa Syekh Abu Hasan sendiri dalam masalah ini telah menyatakan berpegang teguh dengan madzhab salaf shaleh, sebagaimana beliau nyatakan dalam kitab yang ditulis di akhir hidupnya, yaitu "Al Ibanah ‘an ushulid diyanah" (editor: Abdul Qodir Al Arnauth, Bairut, makatabah darul bayan, 1401 H) bahkan dalam karyanya ini beliau mengkritik dan menyanggah tindakan ta’wil yang dilakukan oleh orang-orang yang menyimpang dari madzhab salaf.
(9 ) Kalimat Allah maksudnya bahwa Nabi Isa itu diciptakan Allah dengan firman-Nya “Kun” (jadilah) yang disampaikan-Nya kepada Maryam melalui malaikat Jibril.

SUMBER: KITAB TAUHID
Karya :
SYEKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari



Homosek dalam bahasa Arab disebut dengan liwâth, dinisbatkan kepada kaum Nabi Luth Alaihissallam, karena mereka yang pertama kali melakukan perbuatan tercela itu. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ 

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka, “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fâhisyah (keji) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?”. [al-A’raf/7:80]

Perbuatan liwâth (homosek) adalah perbuatan yang dilakukan oleh laki-laki dengan cara memasukan dzakar (penis) nya ke dubur laki-laki lain. Perbuatan itu juga disebut dengan sodomi, karena kaum Nabi Luth Alaihissallam dahulu tinggal di kota Sadum.

Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Nama kota kaum Nabi Luth adalah Sadum. Dahulu penduduknya melakukan perbuatan-perbuatan keji, Allâh Azza wa Jalla telah menyebutkannya dalam kitab-Nya. Mereka menggauli laki-laki pada duburnya, dan melakukan kemungkaran-kemungkaran yang lain di majlis-majlis mereka”. [al-Kabâir, hlm. 55]

Padahal fithrah yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada manusia, agar dzakar dipergunakan pada tempat persemaian, yaitu qubul wanita, setelah adanya akad pernikahan yang sah. Tetapi orang-orang yang melakukan liwâth, terbalik fithrahnya. Semua itu adalah tipu daya setan yang membelenggu orang-orang yang menyimpang.

LARANGAN DI DALAM AL-QUR’AN
Sesungguhnya perbuatan liwâth merupakan dosa yang lebih keji daripada zina. Sehingga Allâh Azza wa Jalla menyebutnya sebagai perbuatan keji, dan pelakunya disebut sebagai orang yang melewati batas. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ ﴿٨٠﴾ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah (keji) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?”. “Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas”. [Al-A’raf/7: 80-81]

Akibat dari dosa besar ini dan juga keengganan mereka untuk berhenti setelah mendapat peringatan, Allâh Azza wa Jalla hancur mereka dengan penuh kehinaan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

كَذَّبَتْ قَوْمُ لُوطٍ الْمُرْسَلِينَ ﴿١٦٠﴾ إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ لُوطٌ أَلَا تَتَّقُونَ ﴿١٦١﴾ إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ ﴿١٦٢﴾ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ ﴿١٦٣﴾ وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿١٦٤﴾ أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ ﴿١٦٥﴾ وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ ﴿١٦٦﴾ قَالُوا لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ يَا لُوطُ لَتَكُونَنَّ مِنَ الْمُخْرَجِينَ ﴿١٦٧﴾ قَالَ إِنِّي لِعَمَلِكُمْ مِنَ الْقَالِينَ ﴿١٦٨﴾ رَبِّ نَجِّنِي وَأَهْلِي مِمَّا يَعْمَلُونَ ﴿١٦٩﴾ فَنَجَّيْنَاهُ وَأَهْلَهُ أَجْمَعِينَ ﴿١٧٠﴾ إِلَّا عَجُوزًا فِي الْغَابِرِينَ ﴿١٧١﴾ ثُمَّ دَمَّرْنَا الْآخَرِينَ ﴿١٧٢﴾ وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا ۖ فَسَاءَ مَطَرُ الْمُنْذَرِينَ 

“Kaum Luth telah mendustakan rasul-rasul, ketika saudara mereka Luth, berkata kepada mereka: mengapa kamu tidak bertakwa?” Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allâh dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam. Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Rabbmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.” Mereka menjawab: “Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar kamu termasuk orang-orang yang diusir” Luth berkata: “Sesungguhnya aku sangat benci kepada perbuatanmu.” (Luth berdoa): “Ya Rabbku selamatkanlah aku beserta keluargaku dari (akibat) perbuatan yang mereka kerjakan.” Lalu Kami selamatkan ia beserta keluarganya semua, kecuali seorang perempuan tua (isterinya), yang termasuk dalam golongan yang tinggal. Kemudian Kami binasakan yang lain. Dan Kami hujani mereka dengan hujan (batu) maka amat jeleklah hujan yang menimpa mereka yang telah diberi peringatan itu”. [asy-Syu’arâ’/26:160-173]

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman,

فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ﴿٨٢﴾مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ ۖ وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ

“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Rabbmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zhalim” [Hûd/11:82-83]

Firman Allâh Azza wa Jalla di atas “Dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zhalim”, yaitu siksaan itu tidak jauh dari orang-orang zalim umat ini. Jika mereka telah melakukan perbuatan kaum Luth, siksaan akan menimpa mereka ini, sebagaimana telah menimpa mereka itu”. [al-Kabâ'ir, hlm. 55]

LARANGAN DI DALAM AS-SUNNAH
Banyak hadits-hadits yang menyinggung perbuatan homosek dan hukumannya. Di antaranya:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ غَيَّرَ تُخُومَ الْأَرْضِ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ كَمَهَ الْأَعْمَى عَنْ السَّبِيلِ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ سَبَّ وَالِدَهُ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ تَوَلَّى غَيْرَ مَوَالِيهِ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ

Dari Ibnu ‘Abbâs, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh. Allâh melaknat orang yang merubah tanda (batas) tanah. Allâh melaknat orang yang menyesatkan orang buta dari jalannya. Allâh melaknat orang yang mencaci bapaknya. Allâh melaknat orang yang menisbatkan diri kepada bukan maulanya. Allâh melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Nabi Luth. Allâh melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Nabi Luth. Allâh melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Nabi Luth.” [HR. Ahmad; al-Hâkim, al-Baihaqi; dll. Dishahihkan oleh syaikh al-Albâni dalam Silsilah ash-Shahîhah, no. 3462]

IJMA’ LARANGAN
Karena larangan, ancaman dan hukuman terhadap perbuatan homosek disebutkan dalam al-Qur’ân dan as-Sunnah, maka para Ulama sepakat tentang keharamannya. Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Kaum Muslimin telah sepakat bahwa liwâth termasuk dosa besar yang telah diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla ” [al-Kabâir, hlm. 55]

Oleh karena itu barangsiapa menganggapnya halal, atau meridhai perbuatan tersebut, padahal telah sampai keterangan kaharamannya, maka dia adalah orang yang kafir. Jika dia sebelumnya beragama Islam, atau mengaku Islam, maka dia murtad, keluar dari agama. Wallâhul Musta’ân.

HUKUMAN BAGI PELAKUNYA
Tentang hukuman bagi pelakunya di dunia, dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits:

عَن ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ

Dari Ibnu ‘Abbâs, dia berkata: Rasûlullâh n bersabda, “Siapa saja yang kamu dapatkan melakukan perbuatan kaum Nabi Luth, maka bunuhlah pelaku dan orang yang diperlakukan.” [HR. Ahmad; Abu Dawud; Tirmidzi; Ibnu Mâjah; dan al-Baihaqi. Dishahîhkan oleh syaikh al-Albani dalam Shahîh at Targhîb, no. 2422]

KEWAJIBAN TAUBAT 
Perbuatan liwâth termasuk dosa besar, dan di zaman ini telah menyebar ke berbagai pelosok dunia. Bahkan sebagian negara kafir sudah melegalkan perkawinan sejenis ini. Itu adalah tanda-tanda kehancuran. Oleh karena itu setiap orang harus menjauhinya. Adapun orang-orang yang terlanjur melakukannya harus segera bertaubat, menjaga pandangannya dan takut kepada Rabbnya, sebelum ajal menjemputnya. Dia harus memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla dari dosanya yang telah lalu, dan memohon penjagaan dari dosa yang akan datang. Semoga Allâh Azza wa Jalla selalu menganugerahkan ampunan dan keselamatan di dalam agama, dunia, dan akhirat. Sesungguhnya Allâh Maha Pengasih lagi Penyayang.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVIII/1435H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Riyadhus Shalihin – Taman Orang-orang Shalih

Bab 1
باب الإخلاص وإحضارالنية
فى جميع الأعمال والاقوال البارزة والخفية

Keikhlasan Dan Menghadhirkan Niat Dalam Segala Perbuatan,
Ucapan Dan Keadaan Yang Nyata Dan Yang Samar

Allah Ta'ala berfirman:

وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلاة، ويؤتوا الزكاة، وذلك دين القيمة

"Dan tidaklah mereka itu diperintahkan melainkan supaya sama menyembah Allah, dengan
tulus ikhlas menjalankan agama untuk-Nya semata-mata, berdiri turus dan menegakkan shalat serta
menunaikan zakat dan yang sedemikian itulah agama yang benar." (Al-Bayyinah: 5)

Allah Ta'ala berfirman pula:

لن ينال الله لحومها ولا دماؤها ولكن يناله التقوى منكم

"Samasekali tidak akan sampai kepada Allah daging-daging dan darah-darah binatang kurban
itu, tetapi akan sampailah padaNya ketaqwaan dan engkau sekalian." 1 (al-Haj: 37)

Allah Ta'ala berfirman pula:

قل إن تخفوا ما في صدوركم أو تبدوه يعلمه الله

"Katakanlah - wahai Muhammad 2,sekalipun engkau semua sembunyikan apa-apa yang ada di
dalam hatimu ataupun engkau sekalian tampakkan, pasti diketahui juga oleh Allah." (ali-lmran: 29)

وعن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب بن نفيل بن عبد العزى بن رياح بن قرط بن
رزاح بن عدى بن لؤى ابن غالب القرشى العدوى. رضي الله عنه، قال: سمعت رسول الله صلى
الله عليه وسلم يقول: " إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرىء ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله
ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها، أو امرأة ينكحها فهجرته إلى
ما هاجر إليه" ((متفق على صحته. رواه إماما المحدثين: أبو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم
((القشيرى النيسابورى رضي الله عنهما في صحيحهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة.
artinya:
Dari Amirul mu'minin Abu Hafs yaitu Umar bin Al-khaththab bin Nufail bin Abdul 'Uzza
bin Riah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin 'Adi bin Ka'ab bin Luai bin Ghalib al-Qurasyi
al-'Adawi r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda 3:

"Hanyasanya semua amal perbuatan itu dengan disertai niat-niatnya dan hanyasanya bagi setiap orang itu apa yang telah menjadi niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya itu kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya itupun kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang hijrahnya itu untuk harta dunia yang hendak diperolehinya, ataupun untuk seorang wanita yang hendak dikawininya, maka hijrahnyapun kepada sesuatu yang dimaksud dalam hijrahnya itu." 
(Muttafaq (disepakati) atas keshahihannya Hadis ini)

Diriwayatkan oleh dua orang imam ahli Hadis yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Almughirah bin Bardizbah Alju'fi Albukhari, - lazim disingkat dengan Bukhari saja -dan Abulhusain Muslim bin Alhajjaj bin Muslim Alqusyairi Annaisaburi, - lazim disingkat dengan Muslim saja - radhiallahu 'anhuma dalam kedua kitab masingmasing yang keduanya itu adalah seshahih-shahihnya kitab Hadis yang dikarangkan.

Keterangan:
Hadis di atas adalah berhubungan erat dengan persoalan niat. Rasulullah s.a.w. menyabdakannya itu ialah kerana di antara para sahabat Nabi s.a.w. sewaktu mengikuti untuk berhijrah dari Makkah ke Madinah, semata-mata sebab terpikat oleh seorang wanita yakni Ummu Qais. Beliau s.a.w.  mengetahui maksud orang itu, lalu bersabda sebagaimana di atas.

Oleh kerana orang itu memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan maksud yang terkandung dalam hatinya, meskipun sedemikian itu boleh saja, tetapi sebenarnya tidak patut sekali sebab saat itu sedang dalam suasana yang amat genting dan rumit, maka ditegurlah secara terang-terangan oleh Rasulullah s.a.w.

Bayangkanlah, betapa anehnya orang yang berhijrah dengan tujuan memburu wanita yang ingin dikawin, sedang sahabat beliau s.a.w. yang lain-lain dengan tujuan menghindarkan diri dari amarah kaum kafir dan musyrik yang masih tetap berkuasa di Makkah, hanya untuk kepentingan penyebaran agama dan keluhuran Kalimatullah.

Bukankah tingkah-laku manusia sedemikian itu tidak patut sama-sekali.

Jadi oleh sebab niatnya sudah keliru, maka pahala hijrahnyapun kosong. Lain sekali dengan sahabat-sahabat beliau s.a.w. yang dengan keikhlasan hati bersusah payah menempuh jarak yang demikian jauhnya untuk menyelamatkan keyakinan kalbunya, pahalanyapun besar sekali kerana hijrahnya memang dimaksudkan untuk mengharapkan keridhaan Allah dan RasulNya. Sekalipun datangnya Hadis itu mula-mula tertuju pada manusia yang salah niatnya ketika ia mengikuti hijrah, tetapi sifatnya adalah umum. Para imam mujtahidin berpendapat bahwa sesuatu amal itu dapat sah dan diterima serta dapat dianggap sempurna apabila disertai niat. Niat itu ialah sengaja yang disembunyikan dalam hati, ialah seperti ketika mengambil air sembahyang atau wudhu', mandi shalat dan lain-lain sebagainya.

footnote
1 Orang-orang di zaman Jahiliyah dulu jika menginginkan atau mengharapkan keridhaan Tuhan, mereka sembelihlah unta sebagai kurban, lalu darah unta itu disapukan pada dinding Baitullah atau Ka'bah. Kaum Muslimin hendak meniru perbualan mereka itu, lalu turunlah ayat sebagaimana di atas.
2 Semua uraian yang tertera antara -.... - adalah tambahan terjemahan dari kami sendiri untuk memudahkan pengertiannya dan gampang memahamkannya. Harap Maklum
3 Saidina Umar bin Khaththab r.a. itu adalah seorang khalifah dari golongan Rasyidin yang pertama kali menggunakan sebutan Amirul mu'minin pemimpin sekalian kaum mu'minin. Beliau adalah khalifah kedua sepeninggal Rasulullah s.a.w. Panggilan Amirul mu'minin itu lalu dicontoh dan diteruskan oleh khalifah Usman dan Ali radhiallahu 'anhuma, juga oleh para khalifah Bani Umayyah, Bani Abbas dan selanjutnya. Jadi di zaman khalifah Abu Bakar sebutan di atas belum digunakan. Adapun Abu Hafs itu adalah gelar kehormatan bagi Sayidina Umar r.a. Abu artinya bapak, sedang hafs artinya singa. Beliau r.a. memperoleh gelar Bapak Singa, sebab memang terkenal berani dalam segala hal, seperti dalam menghadapi musuh di medan perang, dalam menegakkan keadilan di antara seluruh rakyatnya dan tanpa pandang bulu dalam meneterapkan hukuman kepada siapapun. Ringkasnya yang salah pasti ditindak dengan keras, sedang yang teraniaya dibela dan dilindungi.

SUMBER: KITAB RIYADHUS SHALIHIN

Firman Allah:
artinya: 
“Tidak Aku ciptakan jin dan Manusia melainkan hanya untuk beribadah (1) kepada-Ku.” (QS. Adz –
Dzariyat: 56 ).

artinya: 
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada setiap umat (untuk menyerukan): “Beribadalah kepada Allah (saja) dan jauhilah thaghut” (2) . (QS. An –Nahl: 36).

artinya:
“Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kecuali hanya kepada-Nya, dan
hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan, dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al – Isra’: 23-24).

artinya: 
“Katakanlah (Muhammad) marilah kubacakan apa yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu
“Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang tuamu, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun dia adalah kerabat(mu). Dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalanjalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” ( QS. Al An’am: 151-153).

Ibnu Mas’ud radiallahuanhu berkata: “Barang siapa yang ingin melihat wasiat Muhammad yang tertera di atasnya cincin stempel milik beliau, maka supaya membaca firman Allah: “Katakanlah ( Muhammad ) marilah kubacakan apa yang diharamkan kepadamu oleh Tuhanmu, yaitu “Janganlah kamu berbuat syirik sedikitpun kepadaNya, dan “Sungguh inilah jalan-Ku berada dalam keadaan lurus, maka ikutilah jalan tersebut, dan janganlah kalian ikuti jalan-jalan yang lain. (3)

Mu’adz bin Jabal radiallahuanhu:
artinya: 
“Aku pernah diboncengkan Nabi  di atas keledai, kemudian beliau berkata kepadaku: “wahai Muadz, tahukah kamu apakah hak Allah yang harus dipenuhi oleh hamba-hamba-Nya, dan apa hak hamba-hamba-Nya yang pasti dipenuhi oleh Allah? Aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”, kemudian beliau bersabda: “Hak Allah yang harus dipenuhi oleh hambahamba-
Nya ialah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, sedangkan hak hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah ialah bahwa Allah tidak akan menyiksa orang-orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, lalu aku bertanya: "ya Rasulullah, bolehkah aku menyampaikan berita gembira ini kepada orang-orang? beliau menjawab: “Jangan engkau lakukan itu, karena khawatir mereka nanti bersikap pasrah.” (HR. Bukhari, Muslim).

Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:

  1. Hikmah diciptakannya jin dan manusia oleh Allah.
  2. Ibadah adalah hakekat (tauhid), sebab pertentangan yang terjadi antara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. dengan kaumnya adalah dalam masalah tauhid ini.
  3. Barangsiapa yang belum merealisasikan tauhid ini dalam hidupnya, maka ia belum beribadah (menghamba) kepada Allah. inilah sebenarnya makna firman Allah: “Dan sekali-kali kamu sekalian bukanlah penyembah (Tuhan) yang aku sembah.” (QS. Al Kafirun: 3).
  4. Hikmah diutusnya para Rasul [adalah untuk Menyeru kepada tauhid, dan melarang kemusyrikan].
  5. Misi diutusnya para Rasul itu untuk seluruh umat.
  6. Ajaran para Nabi adalah satu, yaitu tauhid [mengesakan Allah saja].
  7. Masalah yang sangat penting adalah: bahwa ibadah kepada Allah tidak akan terealisasi dengan benar kecuali dengan adanya pengingkaran terhadap thaghut. Dan inilah maksud dari firman Allah : “Barang siapa yang mengingkari thaghut dan beriman kepada Allah, maka ia benar-benar telah berpegang teguh kepada tali yang paling kuat.” (QS. Al Baqarah: 256).
  8. Pengertian thaghut bersifat umum, mencakup semua yang diagungkan selain Allah.
  9. Ketiga ayat muhkamat yang terdapat dalam surat Al An’am menurut para ulama salaf penting kedudukannya, di dalamnya ada 10 pelajaran penting, yang pertama adalah larangan berbuat kemusyrikan. 
  10. Ayat-ayat muhkamat yang terdapat dalam surat Al Isra mengandung 18 masalah, dimulai dengan firman Allah: “Janganlah kamu menjadikan bersama Allah sesembahan yang lain, agar kamu tidak menjadi terhina lagi tercela.” (QS. Al Isra’: 22). Dan diakhiri dengan firmanNya: “Dan janganlah kamu menjadikan bersama Allah sesembahan yang lain, sehingga kamu Kitab(nantinya) dicampakkan ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan tercela, dijauhkan (dari rahmat Allah).” (QS. Al Isra’: 39). Dan Allah mengingatkan kita pula tentang pentingnya masalah ini, dengan firman-Nya: “Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu.” (QS. Al Isra’: 39). 11. 
  11. Satu ayat yang terdapat dalam surat An–Nisa’, disebutkan di dalamnya 10 hak, yang pertama Allah memulainya dengan firman-Nya: “Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah (saja), dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (QS. An Nisa’: 36 ).
  12. Perlu diingat wasiat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. di saat akhir hayat beliau. 
  13. Mengetahui hak-hak Allah yang wajib kita laksanakan.
  14. Mengetahui hak-hak hamba yang pasti akan dipenuhi oleh Allah apabila mereka melaksanakannya.
  15. Masalah ini tidak diketahui oleh sebagian besar para sahabat (4). 
  16. Boleh merahasiakan ilmu pengetahuan untuk maslahat.
  17. Dianjurkan untuk menyampaikan berita yang menggembirakan kepada sesama muslim. 
  18. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. merasa khawatir terhadap sikap menyandarkan diri kepada keluasan rahmat Allah.
  19. Jawaban orang yang ditanya, sedangkan dia tidak mengetahui adalah: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. 
  20. Diperbolehkan memberikan ilmu kepada orang tertentu saja, tanpa yang lain.
  21. Kerendahan hati Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam., sehingga beliau hanya naik keledai, serta mau memboncengkan salah seorang dari sahabatnya. 
  22. Boleh memboncengkan seseorang di atas binatang, jika memang binatang itu kuat.
  23. Keutamaan Muadz bin Jabal.
  24. Tauhid mempunyai kedudukan yang sangat
    penting.
footnote
(1 ) Ibadah ialah penghambaan diri kepada Allah ta’ala dengan mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala laranganNya, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan inilah hakekat agama Islam, karena Islam maknanya ialah penyerahan diri kepada Allah semata, yang disertai dengan kepatuhan mutlak kepada-Nya, dengan penuh rasa rendah
diri dan cinta. Ibadah berarti juga segala perkataan dan perbuatan, baik lahir maupun batin, yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Dan suatu amal akan diterima oleh Allah sebagai ibadah apabila diniati dengan ikhlas karena Allah semata; dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam.
(2 ) Thoghut ialah : setiap yang diagungkan - selain Allah –dengan disembah, ditaati, atau dipatuhi ; baik yang diagungkan itu berupa batu, manusia ataupun setan. Menjauhi thoghut berarti mengingkarinya, tidak menyembah dan memujanya, dalam bentuk dan cara apapun.
(3 ) Atsar ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Abi Hatim.
(4) Tidak diketahui oleh sebagian besar para sahabat, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam. menyuruh Muadz agar tidak memberitahukannya kepada meraka, dengan alasan beliau khawatir kalau mereka nanti akan bersikap menyandarkan diri kepada keluasan rahmat Allah. Sehingga tidak mau berlomba-lomba dalam mengerjakan amal shaleh. Maka Mu’adz pun tidak memberitahukan masalah tersebut, kecuali di akhir hayatnya dengan rasa berdosa. Oleh sebab itu, di masa hidup Mu’adz masalah ini tidak diketahui oleh kebanyakan sahabat.

SUMBER: KITAB TAUHID
Karya :
SYEKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB

Di dalam Lisan al 'Arab, Ibnu al Manzhur rahimahullah menjelaskan, ar rizqu, adalah sebuah kata yang sudah dimengerti maknanya, dan terdiri dari dua macam. Pertama, yang bersifat zhahirah (nampak terlihat), semisal bahan makanan pokok. Kedua, yang bersifat bathinah bagi hati dan jiwa, berbentuk pengetahuan dan ilmu-ilmu.[1]

Mengacu pada penjelasan Ibnu al Manzhur tersebut, maka hakikat rizki tidak hanya berwujud harta atau materi belaka seperti asumsi kebanyakan orang. Tetapi, yang dimaksud rizki adalah yang bersifat lebih umum dari itu. Semua kebaikan dan maslahat yang dinikmati seorang hamba terhitung sebagai rejeki. Hilangnya kepenatan pikiran, selamat dari kecelakaan lalu-lintas, atau bebas dari terjangkiti penyakit berat, semua ini merupakan contoh kongkret dari rizki. Bayangkan, apabila kejadian-kejadian itu menimpa pada diri kita, maka bisa dipastikan bisa menguras pundi-pundi uang yang kita miliki. Tidak jarang, tabungan menjadi ludes untuk mendapatkan kesembuhan. Imam an Nawawi rahimahullah mengisyaratkan makna tersebut dalam kitab Syarh Shahih Muslim (16/141).

Anugerah rizki Allah Subhanahu wa Ta'ala meliputi setiap makhluk hidup. Limpahan karunia itu cerminan rahmat dan kemurahanNya. Porsi rizki masing-masing manusia bahkan sudah ditentukan sejak dini, ketika manusia itu masih berupa janin berusia 120 hari.

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dalam hadits yang panjang :

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ ......ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ

"Sesungguhnya salah seorang dari kalian dihimpun penciptaannya di perut ibunya … lantas diutuslah malaikat dan meniupkan ruh padanya. Dan ia diperintah untuk menuliskan empat ketetapan, (yaitu) menulis rizki, ajal, amalan dan apakah ia (nanti) celaka atau bahagia …". [2]

Kendatipun rizki telah ditetapkan semenjak manusia berada di perut ibunya, tetapi Allah Subhanhu wa Ta'ala tidak menjelaskan secara detail. Tidak ada seorang manusia pun yang mengetahui pendapatan rizki yang akan ia peroleh pada setiap harinya, ataupun selama hidupnya. Ini semua mengandung hikmah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا

"Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diperolehnya besok". [Luqman/31 : 34]

SPIRIT DARI AL QUR`AN
Langit tidak akan pernah menurunkan hujan berlian atawa emas perak. Laut pun tidak mengirimkan kekayaan perutnya ke daratan, sehingga orang-orang bisa beramai-ramai mengaisnya. Islam tidak menganjurkan pemeluknya untuk memerankan diri sebagai penganggur, meski dengan dalil untuk mengkonsentrasikan diri dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jadi, usaha itu merupakan keharusan. Tidak ada kependetaan atau kerahiban dalam Islam. Seorang muslim tidak selayaknya senang bergantung kepada orang lain, menunggu belas kasih dari orang-orang yang lalu-lalang melewatinya.

Renungkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung". [al Jumu’ah/62 : 10].

Al Qurthubi rahimahullah mengatakan: “Berpencarlah kalian di bumi untuk berdagang, dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kalian, serta untuk mencari sebagian dari rizki Allah Subhanahu wa Ta'ala ”.[3]

Allah Subhanahu wa Ta'alal berfirman :

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ

"Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah sebagian dari rizkiNya". [al Mulk/67 : 15].

Tentang ayat ini, Ibnu Katsir mengatakan : “Menyebarlah kemanapun kalian inginkan di penjuru-penjurunya, dan berkelilinglah di sudut-sudut, tepian dan wilayah-wilayahnya untuk menjalankan usaha dan perniagaan”. [4]

RIZKI HARUS HALAL
Al Qur`an dan Sunnah telah mendorong manusia agar mencari rizki yang halal lagi thayyib. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ

"Wahai manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, pakailah cara baik dalam mencari (rizki). Sesungguhnya seseorang tidak akan meninggal sampai ia sudah meraih seluruh (bagian) rizkinya, meskipun tertunda darinya. Bertakwalah kepada Allah dan lakukan cara yang baik dalam mencari (rizki)".[5]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengingatkan manusia, hendaknya berhati-hati dari fitnah harta. Jangan meremehkan pentingnya rizki yang halal, dan harus selektif dalam menghimpun rizki. Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan hadits marfu’ :

َ يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ أَمِنَ الْحَلَالِ أَمْ مِنْ الْحَرَامِ

"Akan datang suatu masa pada manusia, seseorang tidak peduli terhadap apa yang digenggamnya, apakah dari halal atau dari yang haram".[6]

BERKAH ITU PENTING!
Berkah (atau barokah), berasal dari kata الْبُرُوك (al buruk). Maksudnya ialah الثُّبُوت (ats tsubut atau menetap).

Az Zajjaj mengartikan berkah, sebagaimana dikutip oleh al Qurthubi dalam tafsirnya, dengan limpahan pada setiap hal yang mengandung kebaikan. Kata itu pun dimaksudkan pula kepada makna pertambahan dengan tetap terpeliharanya dzat aslinya.

Namun perlu dingat, pengertian berkah ini tidak melulu identik dengan limpahan materi yang dimiliki, tetapi juga menyertai harta yang sedikit. Hal ini tercermin pada diri yang merasa berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan satu keluarga, meskipun income yang didapatkan masih tergolong jauh jika dianggap cukup.

Dalam hadits Hakim bin Hizam Radhiyallahu 'anhu di bawah ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya :

يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرٌ حُلْوٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ وَكَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ

"Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini begitu hijau lagi manis. Maka barangsiapa yang mengambilnya dengan kesederhanaan jiwa, niscaya akan diberkahi. Dan barangsiapa mengambilnya dengan kemuliaan jiwa, niscaya tidak diberkahi; layaknya orang yang makan, namun tidak pernah merasa kenyang".[8]

Tentang hadits ini, al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, bahwa mayoritas manusia tidak memahami keberadaan berkah, kecuali pada harta yang semakin bertambah banyak. Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan dengan permisalan itu, bahwa berkah merupakan salah satu makhluk Allah, dan membawakan permisalan yang sudah akrab dengan manusia. [9]

Dari sini kita bisa mengetahui, bahwa cara-cara yang legal dalam mengais rizki, tidak hanya mendatangkan rizki yang halal lagi thayyib, tetapi juga akan berpengaruh pada lahir insan-insan masa depan, yaitu anak-anak yang berjiwa suci lagi berkepribadian luhur, lantaran mendapatkan asupan gizi dari makanan halal. Selain itu, juga dapat menghadirkan karunia lain, yang tidak bisa terpantau oleh indera ataupun dihitung dengan materi. Itulah berkah.

TIGA PEMBAWA BERKAH PADA HARTA
Pertama : Syukur.
Kenikmatan yang didapatkan seseorang pada setiap datang, tidak terhitung jumlahnya, termasuk di antaranya harta benda. Kenikmatan ini menuntut seseorang untuk memanifestasikan syukur kepada al Khaliq yang telah melimpahkan rizki. Rasa syukur dan terima kasih serta pujian kepada Allah Azza wa Jalla atas nikmat itu, merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan berkah dan tambahan pada harta yang dimiliki.

Ibnul Qayyim berkata, "Allah menjadikan sikap bersyukur sebagai salah satu sebab bertambahnya rizki, pemeliharaan dan penjagaan atas nikmatNya (pada orang yang bersyukur). (Demikian ini merupakan) tangga bagi orang bersyukur menuju Dzat yang disyukuri. Bahkan hal itu menempatkannya menjadi yang disyukuri”. [10]

Syukur jangan dipahami secara sempit, atau hanya dengan lantunan kata "alhamdulillah" atau "wa asy syukru lillah". Syukur yang seperti ini tidaklah tepat, dan tidak pelak lagi, yang demikian itu merupakan pandangan yang terlalu dangkal. Syukur memiliki makna yang lebih jauh dan lebih luas dari sekedar ucapan tersebut. Segala perbuatan baik, seperti shalat, puasa, pengakuan kurang dalam menjalankan ketaatan, menghargai nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala , memperbincangkannya, menerima dengan ridha, walaupun sedikit, semuanya masuk dalam bentuk syukur. Dengan bersyukur, maka Allah akan menambahhkan karuniaNya kepada kita. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ

"Jika engkau bersyukur, niscaya Kami benar-benar akan menambahimu". [Ibrahim : 7].

Al Qurthubi menjelaskan, artinya, jika engkau mensyukuri nikmatKu, niscaya Aku tambahkan kepada kalian dari kemurahanKu. Ayat ini merupakan dalil yang tegas bahwa bersyukur menjadi factor yang akan menambah kenikmatan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. [11]

Kedua : Shadaqoh.
Tidak sedikit ayat dan hadits yang menjelaskan shadaqoh dan infak merupakan salah satu penunjang yang dapat mendatangkan rizki dan meraih berkah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

"Allah menghapuskan riba dan mengembangkan shadaqoh".[al Baqarah : 276].

Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala akan meningkatkannya di dunia ini dengan berkah dan memperbanyak pahalanya dengan melipatgandakannya di akhirat. [12]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Asma` bintu Abi Bakar Radhiyallahu 'anha :

أَنْفِقِي وَلَا تُحْصِي فَيُحْصِيَ اللَّهُ عَلَيْكِ

"Berinfaklah, janganlah engkau menahan diri, akibatnya Allah akan memutus (berkah) darimu". [13]

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,"Larangan dari menahan diri untuk bersedekah lantaran takut habis (apa yang dimiliki), sikap ini merupakan faktor paling yang mempengaruhi terhentinya keberkahan. Karena Allah membalas pahala infak tanpa ada batas hitungannya." [14]

As Sindi memaknai hadits di atas dengan mengatakan : "Janganlah engkau menahan apa yang ada di tanganmu, akibatnya Allah akan mempersulit pintu-pintu rizki. Dalam hadits ini terkandung pengertian, bahwa kedermawanan akan membuka pintu rizki, dan kikir adalah sebaliknya”.[15]

Al Mubarakfuri berkata, "Hadits ini menunjukkan, bahwa sedekah meningkatkan harta dan menjadi salah satu penyebab keberkahan dan pertambahannya; dan (menunjukkan pula), kalau orang yang bakhil, tidak bersedekah, (maka) Allah mempersulit dirinya dan menghambat keberkahan pada harta dan pertambahannya." [16]

Ketiga : Silaturahmi.
Usaha lain yang bisa mendukung bertambahnya rizki dan bisa mendatangkan keberkahan pada harta yang dimiliki, yaitu menyambung jalinan silaturahmi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

"Barangsiapa ingin dilapangkan dalam rizkinya dan ditunda ajalnya, hendaknya ia menyambung tali silaturahmi".[17]

Hadits di atas menunjukkan manfaat menyambung tali silaturahmi, yaitu dapat mendatangkan curahan kebaikan dari Allah berbentuk rizki, terhindar dari keburukan, dan diraihnya keberkahan.

Al Hafizh rahiamhullah berkata : “Para ulama mengatakan, yang dimaksud dilapangkan rizkinya adalah, adanya keberkahan padanya. Sebab menyambung tali silaturahmi adalah sedekah, dan sedekah mengembangkan harta, sehingga semakin bertambah dan bersih”.[18]

Wa billahit taufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03//Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lisanu al ‘Arab, 10/1115.
[2]. HR Muslim, kitab al Qadr, bab Kaifa al Khalqu al Adami fi Bathni Ummi wa Kitabati Rizqihi, 4/ 2037-2038.
[3]. Al Jami’ li Ahkami al Qur`an (18/105).
[4]. Tafsir al Qur`ani al ‘Azhim (4/105), dengan ringkasan.
[5]. HR Ibnu Majah, kitab at Tijarat, bab al Iqtishad fi Thalabi al Ma’isyah (2/724), dan dishahihkan oleh al Albani.
[6]. HR al Bukhari, kitab al Buyu’, bab Man Lam Yubali min Haitsu Kasaba al Mal (4/296).
[7]. Al Jami’u Li Ahkami al Qur`an : 13/1 pada tafsir ayat pertama surat al Furqan.
[8]. HR al Bukhari, kitab az Zakat, bab al Isti’faf ‘an al Mas`alah (3/3350); Muslim, kitab az Zakat, bab Takhawwufi ma Yakhruju min Zahrati ad Dunya (2/727-729).
[9]. Fat-hul Bari (3/337)).
[10]. Madarijus Salikin (2/252) secara ringkas.
[11]. Al Jami’u li Ahkami al Qur`an (9/353).
[12]. Al Jami’u li Ahkami al Qur`an (14/41).
[13]. HR al Bukhari (3/299-300, 3/301, 5/217), Muslim (2/713), Abu Dawud (2/134), at Tirmidzi (6/94), an Nasaa-i (5/74).
[14]. Fat-hul Bari (3/301).
[15]. Hasyiyah as Sindi ‘ala Sunan an Nasaa-i (5/74-75)
[16]. Tuhfatul Ahwadi (6/94).
[17]. HR al Bukhari (4/301), (10/415).
[18]. Fathul Bari (4/303).